Sungguh
tak akan selesai mengungkap kebobrokan remaja di zaman ini, maka sudah
saatnya para remaja mulai memperbaiki diri. Lihatlah apa yang dilakukan
dua remaja ketika perang Badar di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dr. Raghib As Sirjani dalam kitabnya “Risalatun ila Syababil Ummah” yang diterjemahkan berjudul “Menjadi Pemuda Peka Zaman”,
dengan bahasa yang komunikatif beliau menjadikan kisah tersebut sebagai
motivasi bagi para remaja. Berikut ini petikan kisah Muadz bin Amr bin
Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ tersebut.
Kedua pemuda yang masih belia ini mempunyai kisah hidup yang tidak pernah terpikir atau terbesit di dalam benak siapapun. Pertama adalah Muadz bin Amr bin Jamuh, usianya baru empat belas tahun. Sementara yang kedua adalah Muawwidz bin Afra’, usianya baru tiga belas tahun.
Kedua
pemuda yang masih belia ini mempunyai kisah hidup yang tidak pernah
terpikir atau terbesit di dalam benak siapapun. Pertama adalah Muadz bin
Amr bin Jamuh, usianya baru empat belas tahun. Sementara yang kedua
adalah Muawwidz bin Afra’, usianya baru tiga belas tahun. Akan tetapi,
dengan penuh antusias keduanya bergegas ikut serta bergabung bersama
pasukan kaum muslimin yang akan berangkat menuju lembah Badar.
Kedua
pemuda belia ini memiliki nasib baik karena tubuh keduanya terlihat kuat
dan usianya terlihat relatif lebih dewasa. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
menerima keduanya masuk dalam skuad pasukan kaum muslimin yang akan
berperang melawan kaum musyrikin pada perang Badar. Meskipun usia mereka
masih sangat muda belia, tetapi ambisi mereka jauh lebih hebat dan
lebih besar daripada ambisi para orang tua atau kaum lelaki yang lain.
Di sini mari kita dengarkan bersama penuturan dari seorang sahabat yang mulia Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. seperti yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhari. Abdurrahman Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan sikap dan tindakan yang sangat ajaib dari kedua pemuda pemberani ini! Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan :
“Pada
perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para Mujahidin.
Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua
orang anak muda belia. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan
selamat dalam posisi itu.”
Kedua pemuda belia itu adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu
sangat heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di dalam
sebuah peperangan yang sangat berbahaya seperti perang Badar.
Abdurrahman merasa khawatir mereka tak akan mendapatkan bantuan atau
pertolongan dari orang-orang di sekitar mereka berdua, disebabkan usia
keduanya yang masih muda.
Lalu Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya dengan penuh takjub :
“Tiba-tiba
salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman,
manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal ini adalah
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu Ia berasal dari
kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya.
Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang lalim penuh
durjana di Kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik perhatian
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”
Sang pemuda belia itu menjawab dengan jawaban yang membuat Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu tak habis pikir! Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya,
pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah
seorang di antara kami terlebih dahulu tewas (gugur).”
Ya
Allah, betapa kokoh dan kuatnya sikap anak muda belia ini! Seorang anak
muda belia yang tinggal di Madinah Al-Munawwarah. Ketika ia mendengar
bahwa ada orang yang mencaci maki baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di kota Mekkah yang jaraknya hampir 500 km dari tempat tinggalnya, bara
api kemarahan berkobar di dalam hatinya dan semangat ingin membela
baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membara di dalam jiwanya.
Ia pun
berikrar untuk melakukan sesuatu yang bisa membela keyakinan, harga diri
dan tempat-tempat suci agamanya. Dan kesempatan itu datang kala perang
berkecamuk, yakni ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa Abu Jahal menuju lembah Badar. Maka ia pun berikrar bahwa ia sendiri yang akan membunuhnya.
Sungguh,
pemuda belia ini benar-benar bersumpah bahwa jika ia melihat Abu Jahal,
maka ia tidak akan membiarkannya begitu saja hingga salah seorang dari
mereka meninggal dunia. Ia tidak merasa cukup hanya dengan tercapainya
cita-cita ikut serta dalam perang Badar dan melakukan tugas mulia yang
dibebankan kepadanya.
Tidak
merasa cukup hanya dengan memenuhi mimpinya dengan membunuh seseorang
dari pasukan kaum musyrikin saja. Akan tetapi, yang menjadi ambisi
utamanya, impian masa depannya, target dan tujuan hidupnya; adalah ia
harus membunuh si durjana dan si lalim ini (Abu Jahal). Meskipun
tebusannya, ia akan mati syahid di jalan Allah.
Subhanallah!
Sebenarnya, ia boleh saja – tidak ada orang yang akan mencelanya –
berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan membunuh salah seorang
dari kalangan kaum musyrikin dan menyerahkan urusan membunuh komandan
pasukan kaum musyrikin yang lalim ini kepada salah seorang pahlawan
Islam terkemuka, atau salah seorang ahli perang yang sudah diketahui
kemampuan dan kemahirannya dalam bertempur. Akan tetapi, ambisi dan
obsesi utamanya laksana ingin sampai ke puncak bangunan yang tinggi
menjulang.
Tentunya, hal ini bukan satu sikap yang biasa. Ini adalah satu sikap yang benar-benar menakjubkan. Bahkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu sendiri menuturkan, “Saya pun merasa takjub akan hal itu.” Namun rasa takjub dan keheranan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu belum berhenti sampai di situ. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu
bukan satu-satunya anak muda belia yang jarang ditemukan di
tengah-tengah barisan pasukan kaum muslimin. Ia punya teman sejawat yang
saleh dan seusia atau sedikit lebih muda darinya. Anak muda ini juga
bersaing dengannya dalam hal yang sama.
Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu)
menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman
melanjutkan kisahnya, “Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di
tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian
melihat orang itu ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan
kepadaku!”
Melihat
Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad
bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat
mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.
Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu ketika
ia menggambarkan situasi yang sangat menakjubkan tersebut, seperti yang
terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya
Ibnu Sa’ad.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu
menuturkan, “Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang
pun dari pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu
Jahal)’.” Saat itu , Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat
laksana pohon yang rindang.
Abu
Jahal, sang komandan terkemuka dari bangsa Quraisy datang dalam
iring-iringan para algojo dan orang-orang kuat laksana hutan lebat.
Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah simbol kekufuran dan
komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika pasukan batalyon
terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan membelanya.
Di
samping itu, kaum musyrikin juga saling menyerukan, “Waspadalah, jangan
sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!” Mereka
mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang dapat menyentuh Abul-Hakam
(Abu Jahal)!”
Wahai generasi muda Islam! Pemuda belia ini baru berusia empat belas tahun. Dirinya mampu memotong betis Abu Jahal hanya dengan satu pukulan saja. Padahal Abu Jahal berada dalam perlindungan dan pengawalan yang sangat ketat dari pasukan kaum musyrikin.
Meskipun
Abu Jahal dilindungi sedemikian rupa dan pengawalannya begitu ketat,
namun hal itu tak menghalangi Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu untuk tetap membulatkan tekadnya, melaksanakan tugasnya, serta merealisasikan cita-cita suci di dalam hidupnya.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu
menuturkan, “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin
membulatkan tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba
waktunya, saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya
hingga setengah kakinya (betis) terputus.”
Subhanallah! Hanya satu sabetan pedang dari tangan anak muda belia ini, betis seorang lelaki (Abu Jahal) putus dalam sekejap.
Tanyakanlah
kepada para dokter atau tim medis yang pernah melakukan operasi
pemotongan, betapa sulitnya melakukan hal tersebut! Coba pula tanyakan
kepada para pahlawan dan ahli perang yang bergelut di medan pertempuran
yang dahsyat, betapa sangat sulitnya hal itu dilakukan!
Wahai
generasi muda Islam! Apa sebenarnya yang kita bahas sekarang? Apakah
kita berbicara mengenai tingkatan kepahlawanan dalam perang yang ideal?
Ataukah gambaran keberanian yang sangat fantastis? Ataukah seni keahlian
perang yang paling indah? Ataukah kekuatan tenaga? Ataukah ketajaman
daya pikir dan insting? Ataukah kejujuran dalam berjihad, niat yang
ikhlas, dan keinginan yang kuat? Ataukah sebelum semua itu, dan yang
paling penting kita bicarakan adalah tentang taufik (pertolongan) Allah
'azza wa jalla kepada para mujahidin di jalan-Nya. Allah azza wa jalla
berfirman :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut : 69)
Wahai
generasi muda Islam! Pemuda belia ini baru berusia empat belas tahun.
Dirinya mampu memotong betis Abu Jahal hanya dengan satu pukulan saja.
Padahal Abu Jahal berada dalam perlindungan dan pengawalan yang sangat
ketat dari pasukan kaum musyrikin.
Ia
benar-benar telah merealisasikan mimpinya selama ini. Hati sanubarinya
terasa damai, dan ia telah berhasil membalas dendam kesumatnya demi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, apakah semua itu dilakukan begitu saja tanpa pengorbanan?!
Hal itu
sangat mustahil! Tentunya taruhannya harus ditebus dengan darah. Sebab,
pohon kejayaan dan kemuliaan tidak akan tumbuh berkembang selain dengan
darah-darah para Mujahidin dan Syuhada.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu
menuturkan, “Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah
-pada waktu itu ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya
hingga hampir terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”
Tangan pemuda belia itu hampir terpisah dari tubuhnya, hanya bergantung pada kulitnya saja. Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu kehilangan lengan tangannya di jalan Allah!
Namun di
atas semua itu, berputus asakah ia? Menyesalkah ia? Apakah ia merasa
bahwa ia telah melakukan tindakan yang salah? Apakah ia berharap,
seandainya ia tidak ikut dalam medan perang serta hidup dengan selamat
dan damai di Madinah, sehingga dirinya terhindar dari luka penderitaan,
dan cacat?
Wahai
generasi muda Islam! Semua itu sedikit pun tak pernah terbesit dalam
benaknya. Justru yang menjadi ambisinya pada saat-saat seperti ini
adalah ia harus meneruskan perjalanan jihadnya di jalan Allah Ta’ala.
Sebab, masih banyak musuh yang memerangi umat islam dan orang-oarng
ikhlas harus segera membela dan berjuang meskipun hanya dengan satu
tangan.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,
“Pada
hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya yang
hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia
menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya
menariknya hingga tangan saya terputus.”
Ia justru memisahkan tangan dari jasadnya agar bisa mengobarkan jihad dengan bebas dan leluasa! Subhanallah! Lantas, di mana teman pesaingnya untuk membunuh si durjana dan si lalim kelas kakap itu? Di mana Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu?
Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.
Mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh ra. tentang teman pesaingnya ini :
“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu
melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia
pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan
tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”
Maksudnya, Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu
juga berhasil merealisasikan tujuan dan cita-citanya. Ia menebas Abu
Jahal dengan pedang di kala ia berada di tengah-tengah kerumunan para
pengawal dan pelindungnya. Namun, ia berhasil memukul Abu Jahal hingga
membuatnya terjungkal ke tanah seperti orang yang tak berdaya, tetapi ia
masih mempunyai sisa-sisa nafas terakhir. Seperti yang sudah kita
ketahui, bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu datang untuk menghabisi nyawa Abu Jahal.
Demikianlah
keadaaannya. Kedua pahlawan cilik ini berlomba-lomba dan bersaing untuk
menghabisi si durjana, yang pada akhirnya mereka mendapat nilai seri!
Coba perhatikan! Dalam rangka apa mereka bersaing?
Lantas keduanya datang menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing mengatakan, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepada mereka berdua sebagaimana yang terdapat di dalam
riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Apakah kalian telah menghapus (bercak
darah yang menempel pada) pedang kalian?“ mereka berdua menjawab,
“Belum.” Maka beliau melihat kedua pedang pahlawan cilik tersebut.
Lantas beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyimpulkan bahwa kedua pahlawan- belia itu memperoleh nilai yang sama dan seri.
Subhanallah!
Apakah sampai di sini saja kisah kepahlawanan kedua pemuda belia ini?
Belum, wahai generasi muda Islam! Namun, kisah mereka masih terus
berlanjut pada babak berikutnya.
Kita telah menyaksikan bahwa Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu
harus rela kehilangan tangannya sebagai harga mati dari perjuangan,
kejujuran, dan kebulatan tekadnya. Lantas apa yang telah dipersembahkan
oleh Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu? Muawwidz Radhiyallahu ‘anhu telah mempersembahkan seluruh jiwanya. Sehingga ia memperoleh mati syahid di jalan Allah!
Pahlawan
tangguh yang masih muda belia ini – usianya baru tiga belas tahun –
terus melanjutkan petualangan jihad dan perjuangannya setelah ia
mempersembahkan perjuangan yang sangat berharga hingga terbunuhnya Abu
Jahal. Akan tetapi, ia tidak merasa puas hanya dengan perjuangan sebatas
itu. Meskipun hasilnya bisa dibanggakan, namun ia terus berjuang dan
maju menerjang musuh hingga memperoleh mati syahid di jalan Allah, yang
padahal usianya masih sangat muda belia.
Wahai
generasi muda, biginilah simbol kejayaan dan kemuliaan! Dan beginilah
persaingan yang hakiki. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَفِيْ ذلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُوْنَ
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin : 26). Sampai disini kisah tersebut.
Sungguh saat ini, umat begitu merindukan sosok remaja seperti Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ yang siap membinasakan Abu Jahal abad ini
Ketahuilah wahai para pemuda, betapa leluasa Abu Jahal abad ini mencaci hingga memerangi umat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Jahal abad ini telah menghina syari’at i’dad dan jihad yang Allah Ta’ala perintahkan dengan sebutan keji; “tindak pidana terorisme.” Mereka tuding semangat menegakkan daulah islamiyah dan khilafah sebagai paham radikal. Mereka hinakan para ulama muwahhid
dengan menghakiminya lewat hukum thaghut. Mereka menawan para mujahidin
dan membantainya sesuka hati. Bahkan yang lebih “gila” lagi, mereka
fitnah gerakan jihad dibiayai lewat bisnis narkoba (narcoterrorism).
Masih
adakah remaja yang mendidih darahnya menyaksikan kezhaliman tersebut?
Sungguh saat ini, umat begitu merindukan sosok remaja seperti Muadz bin
Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ yang siap membinasakan Abu Jahal
abad ini. Wallahu a’lam bis Shawab [Ahmed Widad]
(voa-islam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar